top of page

Sekali Lagi: S.H. Mintarja

Mungkin hanya S.H. Mintarjalah pengarang Indonesia yang karyanya bisa menyaingi epos Mahabharata dan Bharata Yudha ketika banyak pengarang pengagumnya menulis kisah carangan alias "sempalan" dalam arti positif.


Ketika beliau wafat, serial Api Di Bukit Menoreh (ADBM) belum ditutup dan para tokohnya "kehilangan" sang Maestro. Saat itulah 2 pengagumnya bernama samaran Mbah Man dan Flam Zahra meneruskan kisahnya, tentu dengan imajinasi berbeda karena latar belakang merekapun berbeda.


Mbah Man dengan konsisten meneruskan kisah ADBM dengan judul Sejengkal Tanah Setetes Darah (STSD) tanpa dijual hingga saat ini setiap bulan. Mbah Man mampu mengadopsi cara bertutur sang maestro dan memberi sentuhan lebih menyejarah, karena menampilkan tokoh Sunan Muria sebagai guru Agung Sedayu berikutnya. Nuansa Islam kisah "carangan" ADBM ini terasa dan tak mengganggu bahkan pas dengan konteks saat itu.


Flam Zahra sebetulnya lebih kusukai, memunculkan tokoh baru, adik seperguruan Agung Sedayu murid dari kakak seperguruan Kyai Gringsing ketika menjadi murid mpu Windujati dan dikirim sang paman guru membantu Ki Rangga Agung Sedayu. Entah kenapa, Flam Zahra hanya mengarang karya sempalan itu beberapa jilid, padahal sangat menegangkan.

Ki Risdiyanto dalam FB Grup hati ADBM setahu saya juga menulis serial Mendung Di Langit Mataram (MLDM), akhirnya juga konsisten menulis carangan secara reguler dan sepotong sepotong seperti tulisan ADBM di Koran KR. Ki Ris menyebut diri cantrik dari padepokan Wit Asem. Judul carangannya (di sampul setiap postingnya selalu tertulis carangan ADBM) adalah "Kitab Kyai Gringsing" dan saya masih setia mengikuti.


Belum lama, ada satu Carangan lagi yang ditulis oleh "Denbagus Narendra" dengan topik "Trah Padepokan Windujati" di FB Grup "Sanggar Janget Kinatelon". Jika Flam, Mbah Man dan Ki Ris masih dengan lambat mengisahkan semua tokoh dan pelan namun pasti kesaktian Agung Sedayu meningkat. Narendra menulis bahwa Ki Rangga Agung Sedayu sudah tak terlawan kecuali oleh para Wali. Saya jadi ingat Jaka Sembung tokoh cergamsil karya Djair Warni yg mendapuknya menjadi "Wali ke Sepuluh".


Hebatnya, semua penulis carangan itu tak mengomersilkan karyanya dan mendedikasikan karya tersebut untuk Ki S.H. Mintarja yang buatku setara dengan Leo Tolstoy si "War and Peace" bahkan melebihi. Bukankah tak ada penulis carangan karyanya seperti Epos Mahabharata, Bharatayudha dan Api Di Bukit Menoreh ? Jika saya menjadi Presiden atau sedikitnya Mendikbud atau orang Tajir, akan saya beri keluarga S.H. Mintarja sebuah Anugerah Sastra.

18 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page