top of page

Gus Baha, Ikon Seabad NU

Sebagai penulis, mengetik lima kata seperti judul di atas bukan sesuatu yang sulit. Nyatanya, saya kesulitan menuliskan judul tersebut dan menuntaskan artikelnya berbulan-bulan lamanya.


Sejak tiga bulan silam, keinginan itu mencuat. Berkali-kali saya tuliskan nama Gus Baha, berkali-kali pula gagal saya tuntaskan. Satu dua paragraf dan terhapus. Saya terus menghapusnya kembali. Serasa ada yang mencegah. Serasa ada yang berat. Padahal keinginan saya kuat sekali untuk menuliskan judul ini: Gus Baha, Ikon Seabad NU.


Pagi ini, saya akan menuliskannya dan menuntaskannya dalam sekali duduk. Saya mesti keluarkan gumpalan kegelisahan dan perenungan yang selama ini bergelayut tentang Gus Baha. Sedikit saja.


Namanya KH Ahmad Bahaudin Nursalim. Lebih dikenal dengan Gus Baha. Beliau lahir pada 29 September 1970 di Narukan, Krangan, Rembang, Jawa Tengah. Beliau putra pasangan KH Nursalim dan Hj.Yuchanidz.


Gus Baha dikenal dengan gaya pakaiannya. Sangat khas santri pesantren. Pakai sarung. Baju putih dilipat sedikit. Pakai peci hitam agak ke belakang sehingga menyisakan rambutnya.


Gaya pakaian ini adalah cermin pikiran dan dakwahnya. Ia sangat sederhana dan menyederhanakan semua kitab yang sulit dipahami oleh awam. Ia menjelaskan Al Qur’an dan Hadist dengan sangat sederhana. Ia menggunakan bahasa yang mudah dipahami tukang becak, satpam, buruh tani, pegawai, dan orang awam lainnya. Dengan begitu, profesor dan para ilmuan juga lebih mengerti pesan utamanya. Ia memberikan contoh-contoh yang dekat denga kehidupan rakyat kebanyakan. Rakyat awam.


Kesederhanaan adalah mutiara. Dengan penjelasan yang sederhana dan dekat dengan kehidupan sehari-hari, konsep ilahiyah dan nubuwah seberat apapun dapat diterima dan dipahami dengan baik.


Gus Baha menjelaskan konsep Tuhan begitu sederhana. Tuhan harus keren. Harus hebat. Kalau Tuhan dilahirkan dan ada tanggal lahirnya, itu tidak keren. Tidak hebat. Perdebatan konsep ketuhanan antara Fir’aun dan Nabi Musa dijelaskan secara epic.


Fir’aun menolak konsep bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, jagat raya. Fir’aun baru tersadarkan bahwa dirinya bukan Tuhan setelah Nabi Musa menjelaskan tentang Tuhan bapak dan ibunya. Tidak mungkin Tuhan datang lebih akhir daripada bapak dan ibunya.


Pameran kekuasaan Allah SWT dijelaskan begitu gamblang. Bukan hanya kehebatan langit dan seisinya. Bukan semata bumi dan alam semesta. Ini tentang manusia diciptakan dan manusia bukanlah Tuhan.


Jika ada cerita seorang bayi lahir dari seorang perempuan suci tanpa sekalipun tersentuh laki-laki, itu masih kurang heroik. Nabi Adam jauh lebih heroik. Nabi Adam diciptakan tanpa kehadiran ayah dan ibu.


Setelah Nabi Isa dituhankan sebagian manusia, ada golongan umat Islam melarang penghormatan berlebihan terhadap Nabi Muhammad SAW. Takutnya, Nabi Muhammad SAW akan dikultuskan dan dituhankan. Penjelasan Gus Baha sangat sederhana melalui kalimat “Allahumma Sholli Alaa Muhammad.” Tegas-tegas di situ Allah SWT yang memberikan Rahmat kepada Nabi Muhammad. Posisi Nabi Muhammad adalah diberi Rahmat. Allah SWT adalah Tuhan dan Nabi Muhammad adalah manusia. Jelas dan tegas.


Penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW yang dilakukan dengan berbagai macam cara dan tradisi sama sekali tidak berpotensi menjadikan Muhammad sebagai Tuhan dan disembah. Muhammad tetaplah seorang manusia dengan segala kehidupan kemanusiaaannya. Manusia pilihan yang Maksum. Manusia yang bahkan Allah SWT dan para malaikat bersholawat untuknya.


“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (Al Ahzab:56).


Konsep aqidah yang sederhana ini mematahkan segala “konflik” kultural yang selama ini terjadi di Nusantara. Gus Baha dapat menjelaskan dan memberi argumentasi ilmiah tentang konsep beragama yang telah menjadi tradisi di Indonesia tanpa berpotensi menuhankan manusia dan menyekutukan Allah SWT.


Argumentasi ilmiah adalah argumentasi berdasarkan sanad keilmuan yang benar. Meski tidak persis sama, pola argumentasi ini juga menjadi tradisi ilmiah di kalangan akademisi saat menguji tesis mahasiswa. Argumentasi harus berdasarkan rujukan, referensi , teori sebelumnya yang jelas dan bersumber dari keilmuan yang pasti.


Pemahaman terhadap kalimat Bismillahirrahmanirrahim tidak bisa hanya dipahami melalui terjemahan bahasa Arab atau tafsir. Tafsir itu bukan Al Qur’an. Untuk memahami kalimat dalam Al Qur’an diperlukan sanad keilmuan yang jelas, melalui penjelasan para alim allamah berurutan hingga para tabi’in dan seterusnya ke para sahabat dan ke sumber utamanya yaitu Rasulullah Muhammad SAW.


Tidak gagah sama sekali jika memahami ayat-ayat dan hukum dalam Al Qur’an dan Hadist langsung dari Al Qur’an dan Hadist. Sebab berpotensi keliru cara memahaminya. Apalagi cuma bermodalkan terjemahan dan tafsir. Terjemahan dan tafsir itu hanya penjelasan subjektif dari seseorang dan bukan kebenaran mutlak seperti yang Allah maksudkan dalam firman-firman-Nya. Akibatnya banyak tokoh, ustad-ustad dan pelaku pembunuhan salah memahami ayat Al Qur’an


Gus Baha menggambarkan perdebatan kiai dan santri tentang sebuah masalah. Perdebatan baru berhenti setelah sang kiai mengatakan “pendapat saya bahwa.....’. Si santri tidak membantah lagi karena sang kiai sudah mengatakan “Pendapat saya. Bukan kata Allah swt.”


Di sinilah peran Gus Baha yang paling penting. Gus Baha berhasil membangun budaya literasi yang lengkap. Ia membaca puluhan mungkin juga ratusan kitab klasik untuk mengetahui pemahaman satu ayat dalam Al Qur’an. Dengan berbagai literatur sahih dan penjelasan guru utamanya, Gus Baha mendudukkan posisi satu ayat tersebut secara benar dan presisi untuk dilaksanakan umat Islam. Lengkap dengan penjelasan konteks historisnya, asbabun nuzulnya, pemahaman secara linguistik (balaghoh), serta pendapat para alim allamah. Dengan cara dan metodologi seperti itu, pemahaman terhadap Al Qur’an dan Hadist bisa lebih dipertanggungjawabkan.



Kekuatan Gus Baha adalah story’ telling-nya. Semua Nash dalam Al Qur’an ada ceritanya. Ada penjelasannya. Ada latar belakangnya. Semua Hadist punya ceritanya. Hukum dan ilmu Fiqh lahir dan “dibangun” melalui konteks sosial kenabian. Nabi yang manusia dan menjalani kehidupan kemanusiaan yang terjaga dalam kemaksuman. Lalu berkembang menjadi pemahaman baru dalam ruang ijtihad sehingga lahirlah qiyas dan ijma.


Ruang-ruang ikhtilaf berhasil disandarkan Gus Baha dalam ruang keilmuan yang menarik dan rasional. Dalam konteks beragama di Indonesia, ia tak segan mengkritik “ajaran NU” tentang sholat witir dua rakaat dan dilanjutkan satu rakaat dalam rangkaian sholat tarawih.


Ia juga mengkritik Muhammadiyah yang sering menstempel seseorang bid’ah. Contohnya tahlilan. Kalimat tahlil itu begitu agung. Membaca kalimat tahlil itu sangat terpuji dan memiliki dampak sangat baik. Kalimat ini bahkan menggaransi seseorang agar memperoleh itqun minannar.


Kritik Gus Baha sejatinya mendudukkan masalah pada asalnya. Qunut misalnya. Persoalan ini muncul jauh di era Imam Syafi’i, Imam Malik dan Hanafi. Di Indonesia, kini qunut telah menjelma menjadi politik identitas. Umat Islam yang suka qunut adalah golongan NU dan yang tidak qunut adalah Muhammadiyah.


Dengan penjelasan Gus Baha ini, umat Islam, baik generasi (maaf) kolonial hingga Milenial (generasi x,y,z) diberi wawasan, pandangan, pengetahuan, latar belakang, konteks dan argumentasi tentang berbagai hal dalam Islam. Beragama jauh menjadi lebih rasional dan mengasyikkan: seperti melihat gambar besar, gambar utuh.


Beragama Islam dan punya Tuhan, Allah SWT, jadi lebih bangga, lebih keren dan heroik. Menjalankan tradisi keagamaan kini memiliki argumentasi. Tidak ikut-ikutan. Jika ikut pun, rujukannya, (jujugannya) jelas yaitu mengikuti kyai, para alim allamah. Menjalankan hukum-hukum fiqh jadi lebih punya dasar, punya landasan, punya argumentasi. Jika berdakwa pun jauh lebih berhati-hati agar tidak salah memaknai nash-nash dalam Al Qur’an.


Jika boleh saya petakan, sejak masuknya Islam di bumi Nusantara secara global seperti ini. Kehadiran para Syeikh di Nusantara adalah masa pengenalan yaitu mengenalkan ajaran Islam. Lalu diteruskan Para Wali Songo dan wali lain di belahan Nusantara yaitu mulai tahap mengajarkan Islam. Para alim allamah di era pra kemerdekaan baik sebelum dan sejak NU didirikan adalah tahap menjalankan Islam, membudayakan ajaran Islam. Setelah itu pascakemerdekaan adalah masa memperkuat ajaran Islam.


Kini menjelang 100 tahun atau seabad kelahiran NU, lahirlah alim allama seperti Gus Baha. Di masa inilah tahap memberi penjelasan, menunjukkan gambar besar, argumentasi dan dialektika terhadap ajaran Islam. Masa ini akan terus berlangsung hingga 100 tahun ke depan dengan lahirnya alim allamah baru atau “Gus Baha”- “Gus Baha” yang baru. Inilah ikon baru 100 tahun NU.


Kehadiran Gus Baha bisa menjadi arus besar dalam beragama di Indonesia: khususnya ajaran Ahlussunnah Waljamaah. Tradisi membaca berbagai kitab klasik hingga nonklasik memberi teladan peradaban literasi yang luar biasa. Perintah Iqra benar-benar mengalir dalam aliran darah yang dipraktikkan dan dibudayakan. Bukan cuma diucapkan di mimbar-mimbar.


Gus Baha menghafalkan Al Qur’an dan Hadist bukan saja untuk menjalankan Sunnah tetapi juga mempermudah argumentasi dan membangun persuasi untuk membangun kesederhanaan dalam berdakwah (mengajar). Gus Baha juga membaca berulang-ulang juga dimaksudkan untuk mengetahui pola-pola ekspresi yang tersurat dan yang tersirat yang ditunjukkan Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW dalam Al Qur’an dan Hadist.


Semoga Allah SWT memberikan Rahmat dan Kemuliaan kepada Gus Baha dan seluruh keluarganya. Aamiin Ya Rabbal Alamin.

Jakarta, Sabtu, 13 November 2021


Habe Arifin

Sekjend NUCircle

73 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page