Penulis: Ahmad Rizali
Kasek berpengalaman akan sangat faham beda tingkat kesulitan mengurusi sekolah tipe A yg muridnya di atas 1000 dan tipe C dg murid di bawah 500. Belum lagi ketika tipe A zonasi dengan kemampuan dasar dan potensi murid yg sangat beragam: bengal patuh, pinter bodoh, mblangsak pendiam, bangor sopan, muslim non muslim, tajir dan tafran, kota desa. Lengkaplah sudah kesulitan Kasek, sementara dia faham kompetensi gurunya juga pas pasan serta sedang puyeng mikiri bayar kredit kendaraan sementara TPP belum cair.
Idealnya, yg dilakukan Singapura ini kita tiru karena keyakinanku itulah hakikat pendidikan yg membebaskan. Guru menjadi fasilitator atau pendamping murid yg sedang mencari jalan. Guru menjadi seperti mursyid dalam kisah tasawuf yg menjadi penunjuk jalan (tarekat) dengan melakukan Ing ngarso asung tulodo, Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani dlm proses siklus tergantung keperluan.
Indonesia masih belum cukup prasyarat mengikuti Singapura, kecuali beberapa oase oase sekolah kecil yg memenuhi syarat gurunya. Itupun karena sekolah dikontrol pengawas, maka seringkali yg terjadi adalah never ending fighting antara sekolah dengan pengawas. Biasanya jika ingin ending, salah satu mengalah dan jadilah "business as usual" karena sekolah yg tak direstui otoritas akan sulit masuk "liga primer" sementara yg direstui akan menjadi sekolah biasa biasa saja.
So, kita tiru Singapura ? Seperti ketika kita memancing dan tetangga kita jorannya sering diangkat dan ikan nyantol, lantas kita pindah ke TKP itu dan kita tak peroleh apapun sementara tetangga ke tempat kita menyelup mata pancing dan segera memperoleh ikan besar ? Ingat pesan Sahlberg tokoh Finlandia yg kondang itu "carilah cara anda sendiri... jangan mengkopi sesuatu yg tidak cocok dg kondisi negara anda"
Comments