top of page

Merindu Alam

Hidup di gua isolasi meliarkan imajinasi terbang jauh, menghinggapi setiap lanskap keindahan alam raya, merasakan getar spiritualitas penyatuan diri dalam harmoni agung semesta. Tiba-tiba saja bayanganku mendaki puncak bukit, menyaksikan alam terkembang sebagai guru. Makin tinggi bukit kudaki, makin kaya keragaman hayati. Makin ragam hayati, makin kuat ekosistem. Dari lereng bukit, kusaksian hamparan hijau dedanauan. Alam hijau terkembang karena tumbuh dalam cinta; hasil perjumpaan kerjasama aneka sumberdaya: bibit hayati, sinar mentari, rembesan air, kesuburan bumi, dan semilir angin. Di hamparan dedaunan hijau, masih tampak bebutiran embun. Meski terperangkap di daun lusuh, butir embun tetap bening, tak tercemar lingkungan yang kotor. Tatkala sinar mentari menerpa kabut, alam membiaskan cahya perak berkilau. Saat gelap berganti terang dengan pelayanan sang surya, embun pun mengakhiri tugasnya, bergegas memuai membasahi terik langit dengan uap. Alam tahu kapan harus datang dan pergi. Bisa saling berbagi meski tak bisa saling merasakan. Teguh mengemban misi suci, tak mudah goyah karena keadaan. Makin tinggi posisi, makin memberi ruang hidup bagi keragaman. Embun dan mentari datang tanpa permisi, pergi tanpa pamit. Embun memberi pendinginan, mentari memberi kehangatan. Silih berganti berbagi tugas pelayanan tanpa pamrih, tanpa kecuali. Jika alam yang tak bisa saling merasakan bisa saling berbagi dan melayani, mengapa manusia yang bisa saling merasakan tak bisa saling memberi dan mengasihi? (Makrifat Pagi, Yudi Latif) https://www.instagram.com/p/CRclcbOBNPZ/?utm_medium=share_sheet

Merindu Alam

Jika alam yg tak bisa saling merasakan bisa saling berbagi dan melayani, mengapa manusia yang bisa saling merasakan tak bisa saling memberi?

bottom of page