top of page

Forum Kesehatan Nusantara 2020

Ika Sendangwangi

20 Nov 2020

Negara kita menyisakan beban 3 permasalahan besar kesehatan (Penyakit Infeksi, penyakit Tidak Menular dan Penyakit New Emerging) di tengah era revolusi industri 4.0. Betapa tidak, data riset kesehatan dasar tahun 2018 menunjukkan buruknya semua indikator penyakit degeneratif, mulai dari obesitas, kebiasaan merokok, anemia pada ibu hamil, hipertensi, penyakit ginjal kronik dan kencing manis.

LATAR BELAKANG

Negara kita menyisakan beban 3 permasalahan besar kesehatan (Penyakit Infeksi, penyakit Tidak Menular dan Penyakit New Emerging) di tengah era revolusi industri 4.0. Betapa tidak, data riset kesehatan dasar tahun 2018 menunjukkan buruknya semua indikator penyakit degeneratif, mulai dari obesitas, kebiasaan merokok, anemia pada ibu hamil, hipertensi, penyakit ginjal kronik dan kencing manis. Di sisi lain penyakit infeksi tuberkulosis dan demam berdarah masih menjadi stigma menakutkan dengan case fatality rate yang cukup tinggi di Indonesia. Bahkan saat ini negara kita masih bercokol pada peringkat kedua untuk prevalensi tuberkulosis di dunia, bersaing ketat dengan India.

Sementara itu meningkatnya angka harapan hidup serta berkah keberhasilan program keluarga berencana akan membawa kita pada bonus demografi tahun 2030. Kurang lebih 15 persen populasi Indonesia atau sekitar 45 juta penduduk pada tahun 2030 merupakan kelompok usia lanjut, yang bilamana tidak disiapkan dengan baik akan menjadi beban bagi negara kita tercinta. Tahun 2019, indeks pembangunan manusia Indonesia sebesar 0.694 (termasuk klasifikasi medium), menempati peringkat 116 bersama Vietnam dari 189 negara di dunia, dengan parameter yang sangat menentukan dalam indeks ini adalah tingkat pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu sektor kesehatan dan pendidikan harus menjadi prioritas bagi kita semua.

Pandemi Covid-19 telah membuka mata kita semua, bagaimana rapuhnya ketahanan kesehatan di negara kita, bagaimana system tersebut di uji oleh keadaan pandemic covid – 19, mulai dari ketersedian APD, ruang isolasi, ruang ICU, ventilator, obat – obatan anti virus, pengolahan data yang lambat dan tidak sama serta masalah lainnya. Berangkat dari keadaan ini, NU circle mencoba untuk menelaah, dan menggali beberapa bagian permasalahan dalam system kesehatan Indonesia, dalam rangka membantu pemerintah untuk menata ulang ketahanan kesehatan di Indonesia.

Saat ini Indonesia memiliki kurang lebih 15.000 fasilitas kesehatan tingkat pertama yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, 160.000 dokter umum dan spesialis, serta 230 juta penduduk Indonesia telah terdaftar dalam sistem jaminan kesehatan nasional (JKN). Angka kematian ibu dan angka kematian bayi Indonesia sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup serta 27 per 1000 kelahiran masih merupakan yang tertinggi di ASEAN padahal kedua variabel ini termasuk ke dalam indikator kemajuan suatu bangsa di dunia, selain itu masih tingginya angka kejadian stunting saat ini sebesar 30,8 %, akan menjadi beban tersendiri dalam menuju Indonesia emas tahun 2045.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Indonesia (BPJS), belum lama ini telah meluncurkan potensi kekayaan datanya yang mencapai jutaan populasi dan ribuan variabel, hanya sampai saat ini belum terdengar adanya algoritma serta pola tertentu yang lahir dari big data ini dapat dimanfaatkan sebagai langkah promotif dan preventif kesehatan Indonesia. Untuk mengakomodir kemampuan deteksi dini penyakit degeneratif, kita perlu belajar dan memanfaatkan artificial intelligence dalam program penapisan massal, bahkan sejak periode bayi baru lahir, sehingga semua data klinik dan genomik penduduk Indonesia tercatat dalam Kartu Indonesia Sehat. Sensitifitas para pengambil kebijakan dan profesional tenaga kesehatan negeri ini sangat diperlukan, untuk mampu mengadopsi dan beradaptasi dengan cepat sehingga bisa menghasilkan inovasi disrupsi dalam memecahkan 3 permasalahan besar kesehatan di Indonesia.

Memasuki era disrupsi, pemanfaatan artificial intelligent memegang peranan yang tidak kalah penting dalam hal deteksi dini suatu penyakit. Pengolahan big data klinis dan genomik merupakan dasar bagi pengembangan model promotif dan preventif terutama terhadap penyakit degeneratif yang selama ini membutuhkan proporsi biaya terbesar dalam JKN. Pemerintah harus mampu mengarahkan semua riset dan inovasi di bidang genetik melalui pendirian Indonesian Genome Institute and Studies (INA-GENIUS) sehingga semua perguruan tinggi maupun lembaga penelitian di negara kita mampu merumuskan secara simultan dan sinergi model prediksi genetik pasien Indonesia.Artificial intelligent juga bermanfaat untuk meningkatkan optimalisasi penggunaan alat-alat diagnostik di laboratorium, membantu konversi wawancara dokter – pasien menjadi sebuah big data yang siap dianalisis, disamping itu AI juga merupakan sebuah dasar bagi pengembangan wearable devices yang bermanfaat bagi masyarakat dalam hal promosi kesehatan.

Teknologi robotik dalam bidang kesehatan akan segera menggeser paradigma evidence based medicine menuju algorithym based medicine yang dapat meningkatkan kecepatan serta ketepatan dalam bidang diagnostik dan terapeutik. Kombinasi pemanfaatan big data, artificial intelligent, robotic, internet of thing, niscaya akan memberikan dampak inovasi yang bersifat disruptif bagi pengembangan layanan kesehatan Indonesia terutama dalam hal kedokteran pencegahan dan kedokteran presisi.

Kemandirian obat dan alat kesehatan menjadi masalah utama karena sejauh ini 90 –
94% merupakan produk impor, Data Kementerian Perdagangan Republik Indonesia pada tahun 2014 menunjukkan total impor alat kesehatan sebesar 750 juta USD dengan nilai ekspor hanya sebesar 165 juta USD. Rata-rata pertumbuhan industri alat kesehatan mencapai 12.8% per tahun. Sebuah ironi bagi negara besar seperti Indonesia dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati serta suku bangsa yang luar biasa. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana Indonesia harus mengembangkan sistem kesehatan nasional yang ramah, mengayomi, produktif dan mampu bersaing di dunia.

Saat ini terdapat lebih dari 3200 jumlah perguruan tinggi di Indonesia, di antaranya 85 Fakultas Kedokteran merupakan inkubator ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan ketahanan serta kemandirian di bidang kesehatan. Sudah waktunya kita memimpin inovasi bidang kesehatan melalui pemetaan potensi perguruan tinggi dalam pengembangan riset obat, teknologi serta alat kesehatan dengan fokus pada upaya pencegahan primer.

Selain itu untuk menghadapi Globalisasi dalam perdagangan jasa, termasuk jasa di bidang kesehatan diperlukan peningkatan kompetensi, kapasitas, daya saing, kemampuan berbahasa asing dan keseragaman dalam mutu pelayanan kesehatan, akan menjadi tantangan dan pekerjaan rumah yang besar, agar globalisasi dapat memberikan manfaat yang besar untuk kita. Globalisasi dalam perdagangan jasa ditandai dengan adanya ASEAN Framework Agreement on Servicse (AFAS), ada 8 profesi yang telah disepakati dalam Mutual Recognition Arrangements (MRA) yaitu: akuntansi, teknik, survei, arsitektur, keperawatan, kesehatan, perawatan gigi dan pariwisata. MRA merupakan kesepakatan mengenai kualifikasi tenaga profesional dalam bidang pelayanan jasa dengan tujuan memfasilitasi kemudahan perpindahan atau pasar tenaga profesional tersebut termasuk buruh yang terlatih di kawasan negara-negara ASEAN.

Empat bentuk MRA dalam bidang kesehatan dapat berupa cross-bordertrade,misalnya dilakukannya telemedicine melalui antar negara. Consumption abroad seperti pasien Indonesia melakukan kunjungan ke rumah sakit di negara lain. Commercial presence, contohnya adalah kehadiran rumah sakit asing di suatu negara. Bentuk MRA selanjutnya adalah presence of natural persons, contohnya, dokter Indonesia memberikan pelayanan di negara lain.Karena itu, bila dipersiapkan dengan baik, maka tenaga kesehatan Indonesia akan lebih berpeluang untuk bekerja di luar negeri dibandingkan tenaga kesehatan negara lain bekerja di Indonesia.

Berdasarkan laporan PWC, 600.000 orang Indonesia mencari perawatan medis di luar negri pada tahun 2015, terbanyak di dunia dan penyumbang terbesar wisata kesehatan untuk negara tetangga , yang menghabiskan USD 11.5 miliar per tahunnya. Dikutip dari Excel International Journal of Multidisciplinary Management Studies, medical tourist dari benua Asia memfavoritkan China, India, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Filipina, Taiwan dan Turki sebagai tujuan medical tourism. Sayangnya, Indonesia masih belum menjadi pilihan mereka. Ada lima faktor yang menjadi penyebab medical tourist mencari perawatan medis di luar negeri. Dikutip dari SQU Medical Journal, kelima faktor tersebut adalah keterjangkauan biaya, ketersediaan jenis perawatan medis, kemudahan mendapat perawatan medis, perawatan medis yang dapat diterima serta alasan tambahan. Kekurangan kita adalah tidak bisa berkolaborasi antara pemangku kepentingan di dunia medical tourism ini. Belum jelas siapa yang harus mempromosikan tentang pariwisata medis ini, apakah Kementerian Pariwisata, Kementerian Kesehatan atau lembaga lain. Indonesia memiliki keunggulan di industri kesehatan yang tidak dimiliki negara lain yaitu pengobatan tradisional. Karena itu, pengobatan herbal dapat menjadi jawaban untuk memperkenalkan medical tourism Indonesia secara perlahan.

bottom of page